JAWA
sebagai konstruksi budaya selalu diidentikkan dengan kata adiluhung. Ia
dianggap kaya filsafat luhur serta ajaran spiritual agung. Maka, orang
cenderung menempatkannya di wilayah steril dan tak boleh disinggung.
Padahal,
sejatinya tindakan itu justru membuat budaya Jawa menjadi mandek. Ia
gagap menghadapi perubahan zaman. Agar tak terus berlanjut, Jawa perlu
dikritik. Dan, untuk itu perlu keberanian.
Dalam diskusi meja bundar ''Jawa dalam Kritik'' yang diselenggarakan Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah dan Suara Merdeka
di ruang sidang redaksi, Jalan Raya Kaligawe Km 5, kemarin, Jawa
digugat habis. Keempat pembicara, yakni Prof Dr Abdul Munir Mulkhan,
Mohamad Sobary, Sutanto Mendut, dan Drs Suwardi Endraswara MHum, secara
blakblakan mengkritik Jawa yang konservatif.
Suwardi Endraswara, misalnya, dengan tegas menyebut orang Jawa itu jelek. Untuk menguatkan tesisnya, dosen FBS Universitas Negeri Yogyakarta itu memaparkan fakta. Misalnya, orang Jawa pandai berkamuflase, bodoh, pembangkang, munafik, pendengki, dan suka mendendam.
Ungkapan mikul dhuwur mendhem jero
adalah contoh paling tipikal. Dia menilai kalimat yang kerap disitir
Pak Harto saat berkuasa itu sebagai referensi sahih atas tindak
kebohongan. ''Maksud idiom mikul dhuwur, yang baik menurut sepihak dijunjung tinggi. sedangkan mendhem jero, menutup segala yang gelap.''
Kemunafikan
orang Jawa, ujar dia, dapat dilihat dari ketakselarasan kata dan
perbuatan. Di luar menyuarakan ajaran-ajaran luhur, tetapi kenyataannya
gemar berbuat nista, suka berselingkuh dengan menyimpan gendakan. Adapun sikap pembangkangan orang Jawa dapat dirunut dari Ken Arok, Ki Ageng Mangir, dan Sudira Waryanti.
Bagai
menyambung, Mohamad Sobary menyebut borok-borok manusia Jawa. Sesuatu
yang bersifat idiil bagi mereka saat ini hanya ada di angan-angan.
Sastra sebagai salah satu media yang memuat kesadaran idiil itu gagal menjalin relasi dengan kekinian. Komunitas kejawen pun sekadar menjadi alat kelangenan.
Peneliti
senior LIPI itu mencontohkan, masyarakat Jawa urban yang mukim di
perkotaan. Mereka babak belur dalam pertarungan hidup dan mencari obat
dalam komunitas-komunitas semacam itu. Dan, mereka merasa mendapat
penghiburan atas kekalahan yang dialami.
Dia juga menyangkal pernyataan yang menyebutkan pepe dan perdikan sebagai perwujudan demokrasi ala Jawa. ''Pepe itu demokrasi omong kosong. Yen rajane kober ya ditemoni. Tapi yen ora ya modara kana. Perdikan pun tak lebih sebagai upaya penyingkiran terhadap lawan raja yang dianggap membahayakan kekuasaan.''
Dalam diskusi yang dihadiri Pemimpin Redaksi Suara Merdeka
Sasongko Tedjo dan Ketua DRD Jawa Tengah Prof Dr Siti Fatimah Muis MSc
itu, Sobari menegaskan bahwa Jawa saat ini berada dalam krisis serius.
Jawa sekadar menjadi referensi dan akan makin remuk jika tak segera
diselamatkan.
Ironi
Abdul
Munir Mulkhan mengungkap ironi Jawa sebagai kebudayaan. Pada saat
banyak orang asing mengagungkan, di sini kian sulit menemukan orang Jawa
yang mengerti kejawaan.
Guru
besar Fakultas Tarbiyah Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
itu menggunakan contoh sederhana. Dia melihat orang Jawa yang mampu
berbahasa dan baca-tulis huruf Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari kian
sedikit.
''Pembuktian
sederhana apakah sekelompok orang disebut orang Jawa atau tidak salah
antara lain adalah pada penggunaan bahasa dan huruf Jawa.''
Sementara
itu, Tanto Mendut menolak pengotakan Jawa sebagai sebuah wilayah
teritorial. Jawa itu mahaluas dan tak berbatas. Karena itulah dia
sukarela menyerahkan koleksi gamelan dan kerisnya untuk disimpan seorang
profesor di Warsawa.
Sutanto
juga mengkritik Jawa ortodoks sebagai tatanan yang tak egaliter.
Sebagai pembanding, dia menggunakan komunitas orang gunung di wilayahnya
yang hidup berdasarkan naluri.
Kritik
pedas keempat pembicara terhadap realitas kekinian Jawa mendapat
respons beragam dari peserta diskusi yang dipandu Darmanto Jatman itu.
Ketua Yayasan Swagotra Setiadji Pantjawijaya menilai kritik mereka tak
berimbang.
Selain
kejelekan, kritik yang baik semestinya juga mengungkapkan sisi
kebaikan. Dia menyebut beberapa keunggulan Jawa yang tak dimiliki
peradaban lain, terutama pada sisi spiritual. Misalnya, ngerti sadurunge winarah.
Triyanto
Triwikromo yang menjadi pembahas melihat para pembicara memandang Jawa
sebagai entitas tunggal. Padahal, senyatanya plural. Jawa, ujar
Triyanto, tak bisa dilepaskan dari unsur kebudayaan yang memengaruhinya.