Jumat, 02 Maret 2012

Melanggar Konstitusi

Pemilihan umum tahun 1955 yang sampai sekarang dianggap sebagai pemilihan umum yang paling berhasil, relatif jauh lebih bersih apalagi dibanding dengan pemilu pada waktu Orde Baru, dengan partisipasi rakyat yang sangat hebat. Pemilu 1955 menghasilkan konstalasi kepartaian yang canggih. Ada 15 wilayah daerah pemilihan. Masjumi tampil sebagai pemenang di dua belas daerah pemilihan dan di setiap daerah pemilihan, Masjumi mendapatkan kursi. Tetapi berdasarkan jumlah pemilih, Masjumi hanya berada di nomor dua walaupun di parlemen jumlah kursinya sama dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Nomor tiga Nandlatul Ulama (NU), nomor empat Partai Komunis Indonesia (PKI). Ternyata ini suatu kemalangan untuk nasib tiga partai utama yang lain karena pendukung utamanya adalah di pulau Jawa.

Masalah terpenting pada waktu itu adalah keresahan daerah. Satu-satunya partai yang bisa membela kepentingan daerah hanya Masjumi. Sementara itu, tentara baik di Sulawesi ataupun di Sumatera sudah gelisah. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sudah tidak sanggup lagi memimpin Kabinet. Dia menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno. Bung Karno lalu mengangkat seorang warga negara yang kebetulan bernama Soekarno yang pekerjaannya adalah Presiden Republik Indonesia menjadi formatur kabinet. ltu tidak sesuai menurut Undang-undang Dasar Sementara 1950. Itu dianggap sebagai pelanggaran pertama Soekarno terhadap UUD.

Bung Karno memperkenalkan konsepsinya, yaitu konsepsi Demokrasi Terpimpin. Bung Karno membentuk Dewan Nasional yang bersifat semi Parlemen. Ini dianggap melanggar lagi. Maka praktis elite politik Jakarta terbagi dua pro dan antikonsepsi Presiden. Dimulailah tragedi di dalam politik Pak Natsir yang kontitusionalis. Seperti juga Bung Hatta, Pak Natsir memprotes kebijakan dan konsepsi Presiden Soekarno yang dianggap melanggar konstitusi, tetapi kritik Natsir ditanggapi dengan teror-teror. Kita mengalami tragedi yang terberat dalam sejarah.

Tragedi kedua terjadi waktu Orde Baru. Pada tahun 1980, Presiden Soeharto dua kali berpidato. Dalam dua pidatonya itu Soeharto membayangkan seakan-akan dia adalah personifikasi dari Pancasila. Maka beberapa tokoh menyampaikan Pernyataan Keperihatinan ke DPR. Pak Natsir ditunjuk oleh para penandatangan Pernyataan Keperihatinan untuk menjadi jurubicara. Pak Harto marah. Para penandatangan Pernyataan Keperihatinan disingkirkan. Inilah tragedi untuk perjuangan kita.

Sekarang, bagaimana kita menanggapi berbagai peristiwa sejarah secara dewasa. Itulah refleksinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar