Pemilihan umum tahun 1955 yang sampai sekarang dianggap sebagai
pemilihan umum yang paling berhasil, relatif jauh lebih bersih apalagi
dibanding dengan pemilu pada waktu Orde Baru, dengan partisipasi rakyat
yang sangat hebat. Pemilu 1955 menghasilkan konstalasi kepartaian yang
canggih. Ada 15 wilayah daerah pemilihan. Masjumi tampil sebagai
pemenang di dua belas daerah pemilihan dan di setiap daerah pemilihan,
Masjumi mendapatkan kursi. Tetapi berdasarkan jumlah pemilih, Masjumi
hanya berada di nomor dua walaupun di parlemen jumlah kursinya sama
dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Nomor tiga Nandlatul Ulama (NU),
nomor empat Partai Komunis Indonesia (PKI). Ternyata ini suatu
kemalangan untuk nasib tiga partai utama yang lain karena pendukung
utamanya adalah di pulau Jawa.
Masalah terpenting pada waktu itu
adalah keresahan daerah. Satu-satunya partai yang bisa membela
kepentingan daerah hanya Masjumi. Sementara itu, tentara baik di
Sulawesi ataupun di Sumatera sudah gelisah. Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo sudah tidak sanggup lagi memimpin Kabinet. Dia
menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno. Bung Karno lalu mengangkat
seorang warga negara yang kebetulan bernama Soekarno yang pekerjaannya
adalah Presiden Republik Indonesia menjadi formatur kabinet. ltu tidak
sesuai menurut Undang-undang Dasar Sementara 1950. Itu dianggap sebagai
pelanggaran pertama Soekarno terhadap UUD.
Bung Karno
memperkenalkan konsepsinya, yaitu konsepsi Demokrasi Terpimpin. Bung
Karno membentuk Dewan Nasional yang bersifat semi Parlemen. Ini dianggap
melanggar lagi. Maka praktis elite politik Jakarta terbagi dua pro dan
antikonsepsi Presiden. Dimulailah tragedi di dalam politik Pak Natsir
yang kontitusionalis. Seperti juga Bung Hatta, Pak Natsir memprotes
kebijakan dan konsepsi Presiden Soekarno yang dianggap melanggar
konstitusi, tetapi kritik Natsir ditanggapi dengan teror-teror. Kita
mengalami tragedi yang terberat dalam sejarah.
Tragedi kedua
terjadi waktu Orde Baru. Pada tahun 1980, Presiden Soeharto dua kali
berpidato. Dalam dua pidatonya itu Soeharto membayangkan seakan-akan dia
adalah personifikasi dari Pancasila. Maka beberapa tokoh menyampaikan
Pernyataan Keperihatinan ke DPR. Pak Natsir ditunjuk oleh para
penandatangan Pernyataan Keperihatinan untuk menjadi jurubicara. Pak
Harto marah. Para penandatangan Pernyataan Keperihatinan disingkirkan.
Inilah tragedi untuk perjuangan kita.
Sekarang, bagaimana kita menanggapi berbagai peristiwa sejarah secara dewasa. Itulah refleksinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar