Miskin bukanlah kutukan. Kemiskinan juga bukan karena mereka malas,
tak mau kerja keras, atau tak memiliki etos kerja. Kemiskinan di negara
ini lebih karena faktor struktur eksploitatif yang dibuat oleh manusia,
baik struktur ekonomi, sosial, politik, maupun budaya.
Struktur inilah yang menyebabkan masyarakat miskin sulit terlepas
dari jeratan kemiskinannya. Meskipun mereka bekerja keras membanting
tulang sepanjang hari, memeras keringat sepanjang hidup, karena struktur
yang tidak adil, mereka tetap saja terkurung dalam kemiskinan. Bahkan,
kemiskinan ini menurun kepada anak cucu mereka.
Pemerintah sebenarnya sadar dan mengerti. Untuk melepas belenggu
kemiskinan, cara yang paling efektif adalah mengubah struktur
eksploitatif secara mendasar. Namun, hal itu tak kunjung dilakukan dan
pemerintah sepertinya membiarkan mereka dalam kemiskinan.
Di perkotaan, misalnya, upah buruh dibiarkan sangat rendah sehingga
buruh tetap miskin dan tak berdaya. Menyadari kelompok miskin umumnya
memiliki keterbatasan modal, kemampuan kewirausahaannya lemah, inferior
dalam produk, dan posisi tawarnya rendah, dikembangkan model-model
outsourcing hampir di semua bidang usaha, dan pemerintah tak berupaya
serius mengatasi persoalan ini.
Di pedesaan lebih gawat lagi. Sumber kehidupan masyarakat dirampas
untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, transportasi, dan berbagai
infrastruktur lainnya yang semuanya memihak pemodal kuat. Sulit mencari
contoh, misalnya, kegiatan pertambangan yang menyejahterakan masyarakat
sekitar. Tidak mudah pula menunjukkan contoh penebangan hutan yang
setelah hutannya habis, kemudian masyarakat sekitar menjadi lebih
sejahtera.
Lebih parah lagi, sumber kehidupan masyarakat miskin yang masih
tersisa tak kunjung dibenahi. Salah satu pembicara seminar mengatakan,
selama puluhan tahun pemerintah tak serius mengupayakan produktivitas
tanaman padi.
Padahal, meningkatkan produktivitas tanaman padi merupakan salah satu
langkah paling realistis untuk meningkatkan kesejahteraan petani di
tengah lahan pertanian yang semakin menyempit karena digunakan untuk
permukiman, industri, dan pembangunan infrastruktur.
Kemiskinan yang tetap membelenggu juga menyebabkan masih tingginya
angka putus sekolah, tingginya kasus gizi buruk dan gizi kurang, serta
tingginya angka kematian ibu dan bayi. Angka putus sekolah, misalnya,
saat ini masih sekitar 527.000 atau sekitar 1,7 persen siswa sekolah
dasar yang putus sekolah.
Di sisi lain, masyarakat miskin juga menghadapi persoalan mahalnya
biaya pendidikan, kesehatan, dan biaya hidup sehari-hari. Masyarakat
miskin yang mau beranjak dari belenggu kemiskinan harus pula menghadapi
ganasnya gempuran liberalisme dan kapitalisme yang menusuk hingga ke
jantung pedesaan.
Bersifat karitatif
Pemerintah selama ini bukannya tak melakukan upaya pemberantasan
kemiskinan. Namun, upaya yang dilakukan lebih berupa program kemiskinan,
tetapi bukan strategi dan kebijakan pengentasan warga dari kemiskinan.
Lima program unggulan pengentasan warga miskin yang dilakukan pemerintah
pun tidak menyasar langsung akar atau penyebab kemiskinan, tetapi lebih
bersifat karitatif atau memberikan ”kasih sayang” kepada masyarakat
miskin. Karena itu, hasilnya pun tak efektif.
Inpres Desa Tertinggal (IDT), bantuan langsung tunai (BLT), pembagian
beras untuk rakyat miskin (raskin), Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM), dan sejumlah kegiatan lainnya sudah dilakukan
pemerintah. Namun, karena itu, kegiatannya lebih bersifat karitatif,
jumlah penduduk miskin tak kunjung berkurang signifikan di negeri ini.
Padahal, dana yang dikucurkan untuk mengentaskan warga dari kemiskinan
tidaklah sedikit.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Menko Kesra, anggaran
untuk pengentasan warga dari kemiskinan naik setiap tahun, bahkan
kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, misalnya, anggaran kemiskinan
sekitar Rp 16,7 triliun, tahun berikutnya naik menjadi Rp 23 triliun,
dan tahun 2006 naik menjadi Rp 42 triliun. Tahun berikutnya
berturut-turut naik menjadi Rp 51 triliun (2007), Rp 63 triliun (2008),
Rp 66 triliun (2009), dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun.
Namun, lonjakan anggaran ini tidak disertai dengan penurunan angka
kemiskinan yang signifikan. Jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang
sama 16,7 persen (2004), lalu turun menjadi 16 persen (2005), naik lagi
menjadi 17,8 persen (2006), kemudian turun 16,6 persen (2007), 15,4
persen (2008), 14,2 persen (2009), dan terakhir sekitar 13,3 persen
(2010).
Penurunan ini jauh sangat lambat dibandingkan dengan China. Tahun
1990, jika menggunakan angka kemiskinan absolut 1 dollar AS per kapita
per hari, saat itu di China jumlahnya 31 persen, sedangkan di Indonesia
”hanya” 26 persen. Kini angka kemiskinan absolut di China tinggal 6,1
persen, sedangkan di Indonesia 5,9 persen. Bisa dikatakan, kini hampir
sama 6 persen, tetapi China bergerak dari angka kemiskinan absolut yang
jauh lebih tinggi.
Jika menggunakan patokan 2 dollar AS per hari, penurunan angka
kemiskinan di China lebih pesat lagi, yakni dari 70 persen menjadi 21
persen, sedangkan di Indonesia dari 71 persen menjadi 42 persen.
Melihat angka-angka ini, tentu ada yang keliru dalam strategi
pengentasan warga dari kemiskinan di Indonesia. Karena itu, sudah
saatnya berbagai langkah pengentasan warga miskin ini dievaluasi agar
bisa dihasilkan strategi nyata pengentasan warga miskin, antara lain
dengan menggempur akar-akar kemiskinan hingga tuntas. Jika tak
dievaluasi, bisa muncul tudingan bahwa kemiskinan di Indonesia memang
sengaja dieksploitasi untuk berbagai kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar