Kenapa
sistem demokrasi di Indonesia gagal melahirkan putra terbaik bangsa
seperti yang diisyaratkan oleh sains politik Islam atau gagal melahirkan
seorang aristokrat filosof menurut beberapa theori filosof Yunani kuno?
Demokrasi
kita selama ini hanya mampu melahirkan pemimpin nasional yang tidak
didasari oleh faktor kualitas individu pemimpin itu sendiri.
Demokrasi
kita hanya berhasil malahirkan pemimpin karena dia memiliki pendukung
fanatik. Melahirkan pemimpin karena faktor dia anak seorang mantan
Presiden.
Demokrasi
kita hanya mampu memunculkan pemimpin yang dipilih karena faktor
wajahnya imut-imut, sedikit ganteng, manja, lembut. Memilih karena dia
orang kaya dan banyak harta.
Rakyat
kita –rata-rata- memilih seseorang pemimpin atas alasan emosional,
bukan atas landasan rasional yang waras dan masuk akal.
Demokrasi kita hanya mampu melahirkan pemimpin karena faktor emosi –fanatik, anak si anu.., ganteng, kaya dll-.
Lihat
saja jumlah suara untuk profesor bidang politik jauh berada dibawah
suara seorang ibu rumah tangga dan pensiunan tentara dalam pemilu.
Suara
seorang individu yang memiliki IQ tinggi, sukses dalam karir, bisnes,
keluarga dan agama kalah “ganteng” dengan seorang pensiunan tentara yang
tentu saja untuk masuk tentara tidak begitu mengutamakan otak dibanding
otot.
Demokrasi
kita tidak berhasil melahirkan pemimpin yang berkualitas seperti di
negara-negara maju yang memang sang pemimpin punya kepribadian yang
unggul dan terbilang.
Jawaban
yang mampu saya temukan adalah karena kualitas intelektual rakyat kita
jauh berada dibawah nilai rata-rata taraf pendidikan rakyat dinegara
maju.
Diantara
kelemahan demokrasi ialah disamakannya nilai suara seorang pelacur
dengan nilai suara seorang ulama. Samanya nilai suara seorang Profesor
dengan nilai suara seorang yang tidak berpendidikan dalam pemilu.
–sama-sama satu suara-.
Ini
tentu saja berbeda dengan sistem Syura, dimana hanya melibat ahl hilli
wal aqdi, yaitu hanya melibatkan orang yang ahli dibidangnya saja.
Demokrasi
kita selama ini hanya mampu melahirkan Yudikatif yang berkualitas
karena alasan profesional karir. Sayangnya demokrasi kita belum mampu
melahirkan legislatif dan eksekutif yang berkualitas.
Mungkinkah sistem Demokrasi kurang sesuai dibumi Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar