Jumat, 02 Maret 2012

Budaya Jawanesia kejawen

JAWA sebagai konstruksi budaya selalu diidentikkan dengan kata adiluhung. Ia dianggap kaya filsafat luhur serta ajaran spiritual agung. Maka, orang cenderung menempatkannya di wilayah steril dan tak boleh disinggung.
Padahal, sejatinya tindakan itu justru membuat budaya Jawa menjadi mandek. Ia gagap menghadapi perubahan zaman. Agar tak terus berlanjut, Jawa perlu dikritik. Dan, untuk itu perlu keberanian.
Dalam diskusi meja bundar ''Jawa dalam Kritik'' yang diselenggarakan Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah dan Suara Merdeka di ruang sidang redaksi, Jalan Raya Kaligawe Km 5, kemarin, Jawa digugat habis. Keempat pembicara, yakni Prof Dr Abdul Munir Mulkhan, Mohamad Sobary, Sutanto Mendut, dan Drs Suwardi Endraswara MHum, secara blakblakan mengkritik Jawa yang konservatif.
Suwardi Endraswara, misalnya, dengan tegas menyebut orang Jawa itu jelek. Untuk menguatkan tesisnya, dosen FBS Universitas Negeri Yogyakarta itu memaparkan fakta. Misalnya, orang Jawa pandai berkamuflase, bodoh, pembangkang, munafik, pendengki, dan suka mendendam.
Ungkapan mikul dhuwur mendhem jero adalah contoh paling tipikal. Dia menilai kalimat yang kerap disitir Pak Harto saat berkuasa itu sebagai referensi sahih atas tindak kebohongan. ''Maksud idiom mikul dhuwur, yang baik menurut sepihak dijunjung tinggi. sedangkan mendhem jero, menutup segala yang gelap.''
Kemunafikan orang Jawa, ujar dia, dapat dilihat dari ketakselarasan kata dan perbuatan. Di luar menyuarakan ajaran-ajaran luhur, tetapi kenyataannya gemar berbuat nista, suka berselingkuh dengan menyimpan gendakan. Adapun sikap pembangkangan orang Jawa dapat dirunut dari Ken Arok, Ki Ageng Mangir, dan Sudira Waryanti.
Bagai menyambung, Mohamad Sobary menyebut borok-borok manusia Jawa. Sesuatu yang bersifat idiil bagi mereka saat ini hanya ada di angan-angan.
Sastra sebagai salah satu media yang memuat kesadaran idiil itu gagal menjalin relasi dengan kekinian. Komunitas kejawen pun sekadar menjadi alat kelangenan.
Peneliti senior LIPI itu mencontohkan, masyarakat Jawa urban yang mukim di perkotaan. Mereka babak belur dalam pertarungan hidup dan mencari obat dalam komunitas-komunitas semacam itu. Dan, mereka merasa mendapat penghiburan atas kekalahan yang dialami.
Dia juga menyangkal pernyataan yang menyebutkan pepe dan perdikan sebagai perwujudan demokrasi ala Jawa. ''Pepe itu demokrasi omong kosong. Yen rajane kober ya ditemoni. Tapi yen ora ya modara kana. Perdikan pun tak lebih sebagai upaya penyingkiran terhadap lawan raja yang dianggap membahayakan kekuasaan.''
Dalam diskusi yang dihadiri Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Sasongko Tedjo dan Ketua DRD Jawa Tengah Prof Dr Siti Fatimah Muis MSc itu, Sobari menegaskan bahwa Jawa saat ini berada dalam krisis serius. Jawa sekadar menjadi referensi dan akan makin remuk jika tak segera diselamatkan.
Ironi
Abdul Munir Mulkhan mengungkap ironi Jawa sebagai kebudayaan. Pada saat banyak orang asing mengagungkan, di sini kian sulit menemukan orang Jawa yang mengerti kejawaan.
Guru besar Fakultas Tarbiyah Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menggunakan contoh sederhana. Dia melihat orang Jawa yang mampu berbahasa dan baca-tulis huruf Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari kian sedikit.
''Pembuktian sederhana apakah sekelompok orang disebut orang Jawa atau tidak salah antara lain adalah pada penggunaan bahasa dan huruf Jawa.''
Sementara itu, Tanto Mendut menolak pengotakan Jawa sebagai sebuah wilayah teritorial. Jawa itu mahaluas dan tak berbatas. Karena itulah dia sukarela menyerahkan koleksi gamelan dan kerisnya untuk disimpan seorang profesor di Warsawa.
Sutanto juga mengkritik Jawa ortodoks sebagai tatanan yang tak egaliter. Sebagai pembanding, dia menggunakan komunitas orang gunung di wilayahnya yang hidup berdasarkan naluri.
Kritik pedas keempat pembicara terhadap realitas kekinian Jawa mendapat respons beragam dari peserta diskusi yang dipandu Darmanto Jatman itu. Ketua Yayasan Swagotra Setiadji Pantjawijaya menilai kritik mereka tak berimbang.
Selain kejelekan, kritik yang baik semestinya juga mengungkapkan sisi kebaikan. Dia menyebut beberapa keunggulan Jawa yang tak dimiliki peradaban lain, terutama pada sisi spiritual. Misalnya, ngerti sadurunge winarah.
Triyanto Triwikromo yang menjadi pembahas melihat para pembicara memandang Jawa sebagai entitas tunggal. Padahal, senyatanya plural. Jawa, ujar Triyanto, tak bisa dilepaskan dari unsur kebudayaan yang memengaruhinya.
Jadi ketika mengkritik Jawa, mereka sesungguhnya juga mengkritik Barat, Hindu, dan tentu saja mengkritik diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar